A. PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan dari sebagian sekolah khususnya sekolah dasar dan menengah di pedesaan, misalnya di pedalaman dan di perbatasan. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan delapan (8) standar nasional pendidikan, alokasi dana pendidikan minimal 20% APBN dan APBD, sertifikasi pendidik beserta tunjangan profesinya, penerapan ujian nasional, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, dan sejumlah terobosan baru berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, mutu pendidikan nasional belum merata di seluruh tanah air. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, secara umum, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, sebaliknya sebagian lainnya khususnya di pedesaan, masih memprihatinkan. Jadi, kesenjangan mutu pendidikan nasional masih cukup lebar.
Berdasarkan kenyataan ini, berbagai pihak mempertanyakan: apa penyebab kesenjangan mutu pendidikan nasional yang masih lebar ini? Tentu saja jawabannya adalah banyak faktor yang menyebabkan lebarnya kesenjangan mutu pendidikan nasional, tiga diantaranya adalah: (1) penerapan pendekatan sistem secara parsial, (2) belum maksimalnya penerapan MBS, dan (3) rendahnya partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah.
Faktor pertama, penerapan pendekatan sistem dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sering dilaksanakan secara parsial. Sekolah sebagai sistem terdiri dari konteks, input, proses, output, dan outcome. Dalam kenyataannya, pengembangan sekolah sering difokuskan pada input saja (guru, kurikulum, sarana dan prasarana, dana, dsb.), proses saja (proses belajar mengajar, penilaian hasil belajar, kepemimpinan sekolah, dsb.), atau output saja (nilai ujian nasional, perlombaan karya ilmiah, dsb.). Padahal, penyelenggaraan sekolah sebagai sistem harus dilakukan secara utuh, tidak parsial, apalagi parosial. Artinya, pengembangan sekolah secara sistem harus mencakup seluruh komponen sekolah secara utuh mulai dari konteks, input, proses, output, hingga sampai outcome.
Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik telah menempatkan sekolah sebagai subordinasi yang sangat tergantung pada keputusan birokrasi diatasnya yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang diberlakukan kurang sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Karena sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya, maka mereka kehilangan kemandiriannya, terpasung kreatifitasnya/inisiatifnya, rendah keluwesannya, rendah motivasinya, dan rendah keberanian moralnya untuk melakukan hal-hal baru yang diperlukan untuk memajukan sekolahnya.
Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru, karyawan dan siswa serta peranserta masyarakat khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraan sekolah selama ini belum optimal. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral, pisik, dan material belum optimal. Padahal, kesuksesan sekolah sangat memerlukan teamwork yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis, dan lincah. Hal ini hanya akan terjadi apabila pertisipasi warga sekolah dan masyarakat maksimal. Partisipasi maksimal akan mampu meningkatkan rasa kepemilikan terhadap sekolah dan rasa kepemilikan akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya penyampurnaan, salah satunya adalah mempertegas konsep dasar MBS dan memperkuat pelaksanaannya. Oleh karena itu, pembahasan MBS selanjutnya akan difokuskan pada: (1) landasan yuridis, (2) asumsi-asumsi diterapkannya MBS, (3) prakondisi yang diperlukan dalam penyelenggaraan MBS, (4) konsep dasar MBS yang meliputi: pola baru manajemen pendidikan masa depan, arti, tujuan, karakteristik MBS, dan urusan-urusan yang didesentralisasikan ke sekolah, dan (5) pelaksanaan MBS.
Penerapan MBS dilandasi oleh peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1);
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan; dan
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
3. Asumsi-asumsi Diterapkannya MBS
MBS diterapkan dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih kreatif, inisiatif, dan inovatif dalam meningkatkan kinerja sekolah;
2. dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah;
3. sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah;
4. sekolah lebih mengetahui kebutuhannya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan karakteristik mata pelajaran dan tingkat perkembangan serta kebutuhan peserta didik;
5. pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi sekolahnya;
6. penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efektif dan efisien jika dikontrol oleh warga sekolah dan masyarakat setempat;
7. keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan akan mampu meningkatkan rasa kepemilikan, dedikasi, transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik terhadap sekolah;
8. sekolah lebih bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah dan pemerintah daerah, orangtua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan;
9. sekolah akan mampu bersaing secara sehat dengan sekolah-sekolah lainnya dalam peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya kreatif dan inovatif yang didukung oleh orangtua siswa, masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah setempat; dan
10. sekolah dapat secara cepat menanggapi perubahan, aspirasi masyarakat, dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
4. Prakondisi yang Diperlukan untuk Menyelenggarakan MBS
Sekolah yang akan menerapkan MBS perlu menyiapkan persyaratan berikut. Persyaratan ini bukan dimaksudkan untuk menghambat sekolah yang tidak memenuhinya untuk melaksanakan MBS, tetapi lebih merupakan petunjuk penyiapan bagi sekolah-sekolah yang akan menerapkan MBS. Sekolah yang hanya mampu memenuhi sebagian persyaratan, tetap bisa menerapkan MBS sambil melengkapi persyaratan yang belum dapat dipenuhi. Oleh karena itu, persyaratan berikut bukan merupakan harga mati, akan tetapi lebih merupakan saran yang masih terbuka untuk dimodifikasi, dikurangi atau ditambah sesuai dengan karakteristik sekolah dan masyarakat sekitarnya. Adapun prakondisi yang diperlukan untuk melaksanakan MBS adalah sebagai berikut.
Pertama, warga sekolah (sumberdaya manusianya) harus siap diajak untuk melakukan perubahan pada dirinya, baik pola pikirnya (mind set), pola hatinya (heart set), maupun pola tindakannya (action set). Artinya, warga sekolah harus pro-perubahan, bukan pro-kemapanan, educable/trainable (mau diajak belajar/dilatih). Sekolah juga harus memiliki sumberdaya yang memadai, baik sumberdaya manusianya maupun sumberdaya selebihnya yaitu dana, peralatan, perlengkapan, perbekalan, dan material/bahan.
Kedua, sekolah sebagai institusi pendidikan juga harus siap untuk menerapkan MBS sebagaipola baru, misalnya perencanaannya, pengorganisasiannya, pelaksanaannya, pengkoordinasiannya, dan pengontrolannya. Artinya, sekolah harus mau melakukan restrukturisasi (perubahan) terhadap manajemen dan organisasinya agar akomodatif terhadap penerapan MBS.
Ketiga, kultur sekolah juga harus siap dan kondusif untuk menghadapi tuntutan baru MBS, misalnya penghargaan terhadap perbedaan pendapat, menjunjung tinggi hak asasi manusia, musyawarah-mufakat dapat dilaksanakan, demokrasi/egaliterisme pendidikan dapat ditumbuh kembangkan, masyarakat sekitar dapat disadarkan akan pentingnya pendidikan, dan masyarakat sekitar melalui komite sekolah dapat digerakkan untuk mendukung MBS.
Keempat, sekolah memiliki kemampuan mengarahkan dan membimbing warganya melalui penyusunan kebijakan, rencana, dan program yang jelas untuk menyelenggarakan MBS. Ini semua dilakukan secara partisipatif oleh warga sekolah.
Kelima, sekolah memiliki sistem tata kelola yang baik untuk mempromosikan partisipasi dan transparansi kepada warga sekolah dan masyarakat sekitar serta akuntabilitas sekolah terhadap publik sehingga sekolah akan merupakan bagian dari (milik) masyarakat dan bukannya sekolah yang berada di masyarakat.
Keenam, dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menerapkan MBS cukup kuat, yang ditunjukkan oleh pemberian arah, bimbingan, pengaturan, dan monitoring serta evaluasi yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan MBS. Lebih dari itu, sekolah diberi kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar (otonomi) untuk menyelenggarakan sekolahnya.
5. Pola Baru Manajemen Pendidikan Masa Depan
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah telah mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Tabel 1 berikut menunjukkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju ke yang baru.
Tabel 1:
Dimensi-Dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
Pola Lama
|
Menuju
|
Pola Baru
|
Subordinasi
|
ÞÞ
|
Otonomi
|
Pengambilan keputusan terpusat
|
ÞÞ
|
Pengambilan keputusan partisipatif
|
Ruang gerak kaku
|
ÞÞ
|
Ruang gerak luwes
|
Pendekatan birokratik
|
ÞÞ
|
Pendekatan professional
|
Sentralistik
|
ÞÞ
|
Desentralistik
|
Diatur
|
ÞÞ
|
Motivasi diri
|
Overregulasi
|
ÞÞ
|
Deregulasi
|
Mengontrol
|
ÞÞ
|
Mempengaruhi
|
Mengarahkan
|
ÞÞ
|
Memfasilitasi
|
Menghindari resiko
|
ÞÞ
|
Mengelola resiko
|
Gunakan uang semuanya
|
ÞÞ
|
Gunakan uang seefisien mungkin
|
Individual yang cerdas
|
ÞÞ
|
Teamwork yang cerdas
|
Informasi terpribadi
|
ÞÞ
|
Informasi terbagi
|
Pendelegasian
|
ÞÞ
|
Pemberdayaan
|
Organisasi herarkis
|
ÞÞ
|
Organisasi datar
|
Berikut dijelaskan secara singkat Tabel 1. Pada Pola Lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien.
Pada dasarnya, MBS dijiwai oleh pola baru manajemen pendidikan masa depan sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 1. Lebih rincinya, konsep dasar dan karakteristik MBS dapat diuraikan sebagai berikut.
6. Arti MBS
Secara umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. (Catatan: MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya.
Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu kelembagaan yang disebut dengan Komite Sekolah. Secara resmi keberadaan Komite Sekolah ditunjukkan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya, Komite Sekolah menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Komite Sekolah diharapkan menjadi mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah. Tugas dan fungsi Komite Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
Selain itu, Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang kebijakan dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah. Pendeknya, Komite Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, pemberi pertimbangan, mediator dan pengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sifat ketergantungan rendah; kreatif dan inisiatf, adaptif dan antisipatif/proaktif terhadap perubahan; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (inovatif, gigih, ulet, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya di mana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)
.
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
a. Output yang Diharapkan
Sekolah memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievement). Output prestasi akademik misalnya, NUN/NUS, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/ divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, akhlak/budipekerti, perilaku sosial yang baik seperti misalnya bebas narkoba, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.
b. Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut:
1) Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
2) Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
3) Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting sekali.
4) Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
Tenaga Kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.
Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
5) Sekolah Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
6) Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
7) Sekolah Memiliki Kewenangan
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugas dan fungsinya, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya selebihnya yaitu peralatan, perlengkapan, perbekalan, dana, dan bahan/material.
8) Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.
9) Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MBS. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
10) Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
11) Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus.
Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.
12) Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
13) Memiliki Komunikasi yang Baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah dipatok. Selain itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.
14) Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah mencapai tujuan yang dikendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MBS yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
15) Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Bagus
Sekolah efektif melaksanakan manajemen lingkungan hidup sekolah secara efektif. Sekolah memiliki perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, dan pengevaluasian pendidikan kecakapan hidup (program adiwiyata) yang dikembangkan secara terus menerus dari waktu ke waktu. Sekolah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran warga sekolah tentang nilai-nilai lingkungan hidup dan mampu mengubah perilaku dan sikap warga sekolah untuk menuju lingkungan hidup yang sehat.
16) Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri.
c. Input Pendidikan
1) Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran sekolah yang berkaitan dengan mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah.
2) Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan lainnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumberdaya lainnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.
Secara umum, sekolah yang menerapkan MBS harus memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada di sekitarnya.
3) Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang ketersediaan dan kesiapan sumberdaya manusia (staf), namun pada butir ini perlu ditekankan lagi karena staf merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
4) Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat prestasi yang maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada di sekolah. Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
5) Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan dari siswa.
6) Input Manajemen
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panduan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.
1. Urusan-urusan yang Menjadi Kewenangan dan Tanggungjawab Sekolah
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di limpahkan ke sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu: (a) proses belajar mengajar, (b) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (c) pengelolaan kurikulum, (d) pengelolaan ketenagaan, (e) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (f) pengelolaan keuangan, (g) pelayanan siswa, (h) hubungan sekolah-masyarakat, dan (i) pengelolaan kultur sekolah.
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang dipilih harus pro-perubahan yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.
b. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS) atau school-based plan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut, kemudian sekolah membuat rencana peningkatan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.
Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
c. Pengelolaan Kurikulum
Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian pengelolaan kurikulum dari pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas 22/2006, 23/2006, dan 24/2006. Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar dan sekolah diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam kondisi seperti ini, sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak boleh mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006. Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian, dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan muatan local dan pengembangan diri.
d. Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
h. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
i. Hubungan Sekolah-Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
j. Pengelolaan Kultur Sekolah
Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh kultur sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Kultur sekolah sudah merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
Dalam MBS, sekolah memiliki mitra yang mewakili masyarakat sekitarnya yang disebut komite sekolah. Tugas dan fungsi komite sekolah dalam pelaksanaan MBS adalah: (1) memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai kebijakan dan program pendidikan, RAPBS, kriteria kinerja sekolah, kriteria pendidik dan tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan; (2) mendorong orangtua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan, menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tinggi, melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan/program/ penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, melakukan kerjasama dengan masyarakat, dan menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
B. PELAKSANAAN MBS
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, esensi MBS adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang berwenang dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan sekolah. Paling tidak, proses menuju MBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut:
Pertama, perlu penyempurnaan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan kebijakan-kebijakan bidang pendidikan yang ada di daerah saat ini yang masih mendudukkan sekolah sebagai subordinasi birokrasi dinas pendidikan dan kedudukan sekolah bersifat marginal, menjadi sekolah yang bersifat otonom dan mendudukkannya sebagai unit utama.
Kedua, kebiasaan (routines) berperilaku warga (unsur-unsur) sekolah perlu disesuaikan karena MBS menuntut kebiasaan-kebiasaan berperilaku baru yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif/kooperatif, integratif, sinkron, luwes, dan professional.
Ketiga, peran sekolah yang selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang diputuskan oleh birokrat diatasnya) perlu disesuaikan menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan peran ini merupakan konsekuensi dari perubahan peraturan perundang-undangan bidang pendidikan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,dan peraturan menteri.
Keempat, hubungan antar warga (unsur-unsur) dalam sekolah, antara sekolah dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi perlu diperbaiki atas dasar jiwa otonomi. Karena itu struktur organisasi pendidikan yang ada saat ini perlu ditata kembali dan kemudian dianalisis hubungan antar unsur/pihak untuk menentukan sifat hubungan (direktif, koordinatif atau fasilitatif).
Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang saling terkait dan karenanya hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan cara berpikir semacam ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS (apa, mengapa, dan bagaimana). Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialiasikan konsep MBS kepada semua warga/unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan, orangtua siswa, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Provinsi, dan sebagainya.) melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, pelatihan, diskusi, rapat kerja, simposium, forum ilmiah, dan media masa.
Dalam melakukan sosialisasi MBS, yang penting diupayakan oleh kepala sekolah adalah “membaca” dan “membentuk” budaya MBS di sekolah masing-masing. Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/pembudayaan MBS dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan MBS;
b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang diperlukan untuk menyelenggarakan MBS;
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggungjawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang cukup mendasar;
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS;
e. Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari manajemen berbasis pusat menjadi MBS;
f. Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS dan doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya manusia yang mendukung penerapan MBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam penerapan MBS; dan
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MBS yang telah disepakati.
2. Memperbanyak Mitra Sekolah
Seperti dikemukakan sebelumnya, esensi MBS adalah peningkatan otonomi sekolah, fleksibilitas dan peningkatan partisipasi dalam penyelenggaraan sekolah, baik partisipasi dari warga sekolah maupun masyarakat di sekitarnya melalui perwakilan komite sekolah. Ini berarti bahwa jika MBS ingin sukses, sekolah harus memperbanyak mitra, baik dari dalam maupun dari luar sekolah. Kemitraan dalam sekolah meliputi, antara lain, kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dst. Kemitraan sekolah dengan masyarakat sekitarnya meliputi, antara lain: kepala sekolah dengan komite sekolah, guru dengan orangtua siswa, kepala sekolah dengan kepala dinas pendidikan kabupaten/kota, dst.
Kemitraan penting untuk dilakukan karena disadari sepenuhnya bahwa hasil pendidikan sekolah merupakan hasil kolektif dari unsur-unsur terkait atau para pemangku kepentingan (stakeholders). Kemitraan yang dapat menghasilkan teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis merupakan kartu trup bagi keberhasilan MBS. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kemitraan perlu ditempuh melalui: (1) pembuatan pedoman mengenai tatacara kemitraan, penyediaan sarana kemitraan dan saluran komunikasi, (2) melakukan advokasi, publikasi, dan transparansi terhadap pemangku kepentingan, dan (3) melibatkan pemangku kepentingan sesuai dengan prinsip relevansi, yurisdiksi, dan kompetensi serta kompatibilitas tujuan yang akan dicapai.
3. Merumuskan Kembali Aturan Sekolah, Peran Unsur-unsur Sekolah, Kebiasaan dan Hubungan antar Unsur-unsur Sekolah
Pergeseran dari manajemen berbasis pusat (sentralistik) menuju manajemen berbasis sekolah memerlukan peninjauan kembali terhadap aturan sekolah, peran unsur-unsur sekolah, kebiasaan bertindak, dan hubungan antar unsur-unsur sekolah. Aturan sekolah perlu dirumuskan kembali agar sesuai dengan tuntutan MBS yaitu otonomi, fleksibilitas, dan partisipasi. Demikian juga, peran masing-masing unsur sekolah perlu ditinjau kembali sesuai dengan tuntutan MBS yaitu demokratisasi sekolah. Ini berarti bahwa peran-peran yang semula lebih bersifat otoriter perlu diubah agar menjadi egaliter. Istilah-istilah peran yang bersifat egaliter misalnya kepala sekolah dan guru sebagai fasilitator, mediator, pendukung, pemberi pertimbangan, pemberdaya, pembimbing, tutor, mentor, dan istilah-istilah lain yang sederajad dengan bahasa demokrasi. Demikian juga, kebiasaan-kebiasaan perilaku tergantung atasan dan menunggu perlu diubah menjadi berani mengambil prakarsa dan inisiatif. Kebiasaan mengunggulkan kewenangan diubah menjadi kebiasaan melayani, kebiasaan melayani sistem sekolah diubah menjadi kebiasaan melayani siswa, dst. Hubungan antar unsur juga perlu disesuaikan dengan tuntutan MBS. MBS menuntut hubungan simbiosis, hubungan interaktif, hubungan fungsional, dan bukannya hubungan yang semata-mata struktural (atasan dan bawahan). Pelayanan, pemberdayaan, dan pemfasilitasian terhadap bawahan merupakan harus diunggulkan, bukan mengunggulkan kewenangan atasan terhadap bawahan.
4. Menerapkan Prinsip-prinsip Tata Kelola yang Baik
MBS akan berhasil dengan baik jika sekolah menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik sebagaimana disebut sebelumnya. Prinsip-prinsip tata kelola yang baik meliputi: partisipasi, transparansi, tanggung jawab, akuntabilitas, wawasan kedepan, penegakan hukum, keadilan, demokrasi, prediktibilitas, kepekaan, profesionalisme, efektivitas, efisiensi, dan kepastian jaminan hukum. Penerapan tata kelola yang baik harus diupayakan oleh sekolah melalui berbagai cara seperti misalnya: pembuatan aturan main sekolah/pedoman tentang tatacara pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, penyediaan sarana untuk memfasilitasi pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, melakukan advokasi, publikasi, relasi dengan para pemangku kepentingan, dan sebagainya.yang disesuaikan dengan konteks kebutuhan, karakteristik dan kemampuan sekolah masing-masing.
5. Mengklarifikasi Fungsi dan Aspek Manajemen Sekolah
Manajemen pendidikan umumnya dan manajemen sekolah khususnya merupakan pengelolaan institusi (sekolah) yang dilakukan dengan dan melalui pendidik dan tenaga kependidikan untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Dua hal yang merupakan inti manajemen sekolah yaitu fungsi manajemen dan urusan sekolah. Fungsi-fungsi manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, dan pengawasan/pengontrolan. Urusan-urusan sekolah meliputi: kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, kesiswaan, keuangan, penilaian, hubungan sekolah-masyarakat, pendidikan lingkungan hidup (program adiwiyata), penanggulangan narkoba, dan sebagainya. Fungsi-fungsi manajemen dan urusan-urusan sekolah (digabung menjadi manajemen sekolah) tersebut perlu diklarifikasi secara bersama-sama antara sekolah dan dinas pendidikan kabupaten/kota melalui pertemuan/forum untuk menemukan pembagian urusan-urusan tentang fungsi-fungsi manajemen dan urusan-urusan pendidikan yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah dan dinas pendidikan kabupaten/kota, termasuk komite sekolah dan dewan pendidikan. Dengan cara ini akan terbentuk pembagian manajemen pendidikan yang jelas, koheren, saling komplemen, dan terhindar dari duplikasi, konflik dan benturan antara sekolah dan dinas pendidikan, komite sekolah dan dewan pendidikan. Berikut dipaparkan visualisasi matrik MBS (Tabel 3) untuk memudahkan sekolah dan dinas pendidikan dalam membagi urusan-urusan manajemen pendidikan yang menjadi kewenangan sekolah dan dinas pendidikan kabupaten/kota.
6. Meningkatkan Kapasitas Sekolah
MBS merupakan model baru bagi sekolah maupun dinas pendidikan kabupaten/kota, komite sekolah, dan dewan pendidikan. Untuk itu, pengembangan kapasitas (kemampuan dan kesanggupan) mereka perlu dilakukan melalui berbagai upaya, misalnya: (1) pemberian panduan-panduan tentang konsep MBS, pelaksanaan, evaluasi; (2) pelatihan, lokakarya, diskusi kelompok terfokus, seminar tentang praktek-praktek yang baik dan pelajaran yang dapat dipetik oleh sekolah-sekolah yang melaksanakan MBS, (3) studi banding ke sekolah yang sukses melaksanakan MBS, dan sebagainya. untuk tidak disebut satu persatu.
Keberhasilan MBS sangat tergantung pada kesiapan kapasitas (kemampuan dan kesanggupan) sekolah. Makin tinggi tingkat kesiapan kapasitas sekolah dalam melaksanakan MBS, makin tinggi pula tingkat keberhasilan MBS di sekolah yang bersangkutan.
7. Meredistribusi Kewenangan dan Tanggung jawab
Dalam era sentralistik, kewenangan dan tanggung jawab dalam mengurus sekolah menumpuk pada kepala sekolah (one man show). Semuanya tergantung kepala sekolah, seolah-olah kepala sekolah seperti raja. Dalam MBS, demokrasi merupakan jiwanya. Karena itu, kewenangan dan tanggung jawab tidak lagi semata-mata terpusat pada kepala sekolah, tetapi disebar/didistribusikan kepada para pemangku kepentingan pendidikan sekolah. Dengan cara ini, kekuatan di sekolah tidak lagi semata-mata di satu pundak kepala sekolah, tetapi disebar ke seluruh pemegang kepentingan sekolah. Jadi, kekuatan bergeser dari satu orang (kepala sekolah) menuju ke kekuatan kolektif. Karena itu, seperti dikemukakan sebelumnya, sangat penting bagi sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.
8. Menyusun Rencana Pengembangan Sekolah (RPS/RKAS), Melaksanakan, dan Memonitor serta Mengevaluasinya
Sekolah pelaksana MBS diharapkan menyusun desain, melaksanakan dan melakukan evaluasi RPS/RKAS secara berkelanjutan setiap 5 tahun (renstra) dan rencana tahunan seperti Gambar 3 berikut. Hasil evaluasi harus digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka perbaikan desain RPS/RKAS maupun implementasinya.
a. Menyusun Desain RPS/RKAS
Sekolah yang melaksanakan MBS harus melakukan perencanaan sekolah dan menghasilkan RPS/RKAS. Perencanaan sekolah adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan sekolah yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Hasil dari perencanaan sekolah adalah RPS/RKAS. RPS/RKAS adalah dokumen tentang gambaran kegiatan sekolah dimasa depan dalam rangka untuk mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan. RPS/RKAS penting dimiliki oleh sekolah untuk memberi arah dan bimbingan para pelaku sekolah dalam rangka untuk mencapai tujuan sekolah dengan resiko yang kecil dan mengurangi ketidakpastian masa depan.
RPS/RKAS disusun dengan tujuan untuk: (1) menjamin agar perubahan/tujuan sekolah yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan tingkat kepastian yang tinggi dan resiko yang kecil; (2) mendukung koordinasi antar pelaku sekolah; (3) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi, baik antar pelaku sekolah, antar sekolah dan dinas pendidikan kabupaten/kota, dan antar waktu; (4) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; (5) mengoptimalkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat, dan (6) menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, dan berkeadilan dan berkelanjutan.
Tergantung dari kepentingan/kebutuhan, sekolah dapat mengembangkan jenis-jenis RPS/RKAS untuk meningkatkan mutu (input, proses, output), meningkatkan efisiensi (internal dan eksternal), meningkatkan relevansi pendidikan (relevansinya dengan kebutuhan peserta didik, keluarga, masyarakat, dan sektor-sektor pembangunan).
Sekolah harus membuat rencana pengembangan sekolah strategis (RPS/RKAS Strategis/Renstra) untuk jangka waktu 5 tahun ke depan dan rencana operasional/rencana tahunan sekolah (RPS/RKAS Tahunan) yang merupakan jabaran dari Renstra. Rencana strategis sekolah pada umumnya mencakup perumusan visi, misi, tujuan strategis sekolah, program-program strategis, strategi pelaksanaan, rencana biaya, monitoring dan evaluasi, dan tonggak-tonggak kunci keberhasilan. Sedangkan rencana tahunan sekolah pada umumnya (alternatif 1): meliputi tujuan yang akan dicapai satu tahun ke depan, program-program untuk mencapai tujuan satu tahun ke depan, rencana pelaksanaan, rencana biaya, rencana pemantauan dan evaluasi, dan tonggak-tonggak kunci keberhasilan satu tahun ke depan. Rencana tahunan (alternatif 2) meliputi: identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah, perumusan tujuan/sasaran satu tahun ke depan berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi (tujuan situasional sekolah), pemilihan urusan-urusan sekolah yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran yang telah dirumuskan, analisis SWOT, langkah-langkah pemecahan persoalan, dan penyusunan rencana dan program kerja tahunan sekolah.
b. Melaksanakan RPS/RKAS
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang kuat untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
c. Melakukan Monitoring dan Evaluasi RPS/RKAS
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir catur wulan untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada satu semester dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada semester berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program, khususnya guru dan tenaga lainnya agar mereka dapat menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan memberikan alternatif pemecahan. Demikian pula, orangtua peserta didik dan masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Dengan demikian, sekolah mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan hasil penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa orang tua peserta didik dan masyarakat menilai suatu program gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah menganggapnya cukup berhasil. Yang perlu disepakati adalah indikator apa saja yang perlu ditetapkan sebelum penilaian dilakukan.
Hasil evaluasi pelaksanaan MBS perlu dibuat laporan yang terdiri dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksanaan dan hasil MBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan uang serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan (income generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka laporan harus dikirim kepada pengawas, dinas pendidikan kabupaten/kota, komite sekolah, orangtua siswa dan yayasan (bagi sekolah swasta).
Konsekuensi logis dari perubahan penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari pola manajemen lama (sentralistik) menuju ke pola manajemen baru (desentralistik) memerlukan perumusan kembali tugas dan fungsi jajaran birokrasi. Dari uraian konsep MBS disebutkan bahwa pola manajemen baru lebih menekankan pada pemandirian dan pemberdayaan sekolah. Ini memiliki arti bahwa sekolah merupakan unit utama kegiatan pendidikan, sedang birokrasi dan unsur-unsur lainnya merupakan unit pelayanan pendukung. Karena itu pola pikir manajemen lama yang lebih menekankan pada subordinasi, pengarahan, pengaturan, pengontrolan, dan one-man-show dalam pengambilan keputusan, sudah harus dikurangi dan dikembangkan menjadi pola pikir manajemen baru yang lebih menekankan pada otonomi, fasilitasi, motivasi-diri, bantuan, dan pengambilan keputusan partisipatif.
Seiring dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan (Bidang Pendidikan) antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota (selanjutnya disingkat PP 38/2007), maka tugas dan fungsi masing-masing jajaran birokrasi pendidikan dalam penyelenggaraan MBS dapat dituliskan sebagai berikut.
1). Direktorat Pembinaan Sekolah (SD, SMP, SMA, SMK)
Secara umum, Direktorat Pembinaan Sekolah (SD, SMP, SMA, SMK, selanjutnya disingkat Direktorat Pembinaan) mempunyai tugas dan fungsi menyusun norma-norma (peraturan perundang-undangan), standar, kriteria, prosedur, dan kebijakan, baik pada tataran formulasi/penetapan, implementasi, maupun evaluasinya pada tingkat nasional. Khusus untuk kebijakan, rinciannya sebagai berikut: (1) pada tataran formulasi dan penetapan kebijakan, Direktorat Pembinaan mempunyai tugas dan fungsi memformulasikan/menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan MBS melalui penyusunan dan penerbitan buku panduan MBS, dan menetapkan standar MBS sebagai patokan yang berlaku secara nasional; (2) pada tataran implementasi kebijakan, Direktorat Pembinaan mempunyai tugas dan fungsi mensosialisasikan MBS ke seluruh daerah melalui Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota; (3) memfasilitasi dan mengembangkan kapasitas daerah agar mampu dan sanggup melaksanakan MBS; dan (3) pada tataran evaluasi kebijakan, Direktorat Pembinaan mempunyai tugas dan fungsi melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan MBS secara nasional dan menerbitkan informasi secara berkala, baik secara elektronik dan/atau non-elektronik tentang perkembangan konsep dan hasil pelaksanaan MBS secara nasional dan praktek-praktek yang baik yang dapat dipetik untuk memperbaiki konsep maupun pelaksanaan MBS.
2). Dinas Pendidikan Provinsi
Secara umum, tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Provinsi adalah menjabarkan kebijakan dan strategi MBS yang telah digariskan oleh Direktorat Pembinaan untuk diberlakukan di Provinsi masing-masing, antara lain: (1) menyusun petunjuk teknis pelaksanaan dan petunjuk teknis monitoring dan evaluasi berdasarkan pedoman yang ditetapkan pemerintah pusat; (2) memberi pelatihan kepada para pengembang MBS di tingkat kabupaten; (3) melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS serta pengembangannya di Provinsi masing-masing; dan (4) mengkoordinasikan dan menyerasikan pelaksanaan MBS lintas kabupaten/kota untuk menghindari penyimpangan MBS dan menghindari kesenjangan mutu pendidikan lintas kabupaten/kota.
3). Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menjalankan tugas dan fungsi utamanya memberikan pelayanan dalam pengelolaan satuan pendidikan di Kabupaten/Kota masing-masing yang menjalankan MBS. Lebih spesifiknya, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menjalankan tugas dan fungsinya sebagai berikut:
a) Menyusun kebijakan yang mendukung pelaksanaan MBS, yaitu yang mampu menjaga harmonisme antara prinsip-prinsip MBS dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah khususnya pendanaan dari masyarakat sehingga tidak terjadi konflik apalagi benturan;
b) Membimbing sekolah dalam menerapkan MBS melalui berbagai cara seperti pelatihan, pemberian pedoman/petunjuk pelaksanaan MBS, dan pertemuan-pertemuan yang memfasilitasi pelaksanaan MBS;
c) Menyusun pembagian urusan pendidikan yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Sekolah;
d) Memfasilitasi pengimbasan praktek-praktek MBS yang baik (best practices) dari sekolah tertentu ke sekolah-sekolah lain untuk dijadikan lessons learned;
e) Memberikan pelayanan pengelolaan atas satuan pendidikan negeri dan swasta di Kabupaten/Kota masing-masing berkaitan dengan pelaksanaan MBS;
f) Memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola aset/sumberdaya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan, dan sebagainya;
g) Melaksanakan pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan di Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelaksanaan MBS; dan
h) Melaksanakan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan MBS untuk perbaikan.
4). Sekolah
Tugas dan fungsi utama sekolah adalah mengelola penyelenggaraan MBS di sekolah masing-masing. Mengingat sekolah merupakan unit utama dan terdepan dalam penyelenggaraan MBS, maka sekolah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai berikut:
a) Menyusun rencana dan program pelaksanaan MBS dengan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, antara lain: wakil sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, tata usaha), wakil siswa (OSIS), wakil orangtua siswa, wakil organisasi profesi, wakil pemerintah, dan tokoh masyarakat;
b) Mengkoordinasikan dan menyerasikan segala sumber daya yang ada di sekolah dan di luar sekolah untuk mencapai sasaran MBS yang telah ditetapkan;
c) Melaksanakan MBS secara efektif dan efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip total quality management (fokus pada pelanggan, perbaikan secara terus-menerus, dan keterlibatan total warga sekolah dalam meningkatkan mutu sekolah) dan berpikir sistem (berpikir holistik/tidak parsial, saling terkait, dan terpadu);
d) Melaksanakan pengawasan dan pembimbingan dalam pelaksanaan MBS sehingga kejituan implementasi dapat dijamin untuk mencapai sasaran MBS;
e) Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi untuk menilai tingkat ketercapaian sasaran program MBS yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi ini kemudian digunakan untuk menentukan sasaran baru program MBS tahun- tahun berikutnya;
f) Menyusun laporan penyelenggaraan MBS beserta hasilnya secara lengkap untuk disampaikan kepada pihak-pihak terkait yaitu Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Pengawas Sekolah, Komite Sekolah, dan Yayasan (bagi sekolah swasta); dan
g) Mempertanggung jawabkan hasil penyelenggaraan MBS kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah yaitu Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Komite Sekolah, dan Yayasan (bagi sekolah swasta).
5). Komite Sekolah
Tugas dan fungsi utama Komite Sekolah dalam pelaksanaan MBS di sekolah adalah: (1) memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai kebijakan dan program pendidikan, RAPBS, kriteria kinerja sekolah, kriteria pendidik dan tenaga kependidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan; (2) mendorong orangtua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan, (3) menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, (4) mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tinggi, (5) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan/program/penyelenggaraan dan keluaran pendidikan, (6) melakukan kerjasama dengan masyarakat, dan (7) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
C. TATA KELOLA YANG BAIK
Seperti disebut sebelumnya, dalam MBS, sekolah diberi otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) yang lebih besar untuk mengelola sekolahnya. Namun, kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila sekolah menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, berwawasan ke depan, hukum dilaksanakan dengan baik, keadilan, demokrasi/egaliterisme, prediktif, peka terhadap aspirasi stakeholders, dan pasti dalam penjaminan mutu. Dalam materi pelatihan ini tidak semua prinsip-prinsip tata kelola ditulis dan disampaikan, tetapi hanya tiga tata kelola pertama yang diuraikan yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Tata kelola yang lainnya tidak akan diuraikan dalam materi pelatihan ini karena terbatasnya waktu pelatihan. Para pembaca dipersilahkan mempelajari prinsip-prinsip tata kelola yang tidak dibahas dalam materi pelatihan ini dari sumber-sumber lain.
B. Uraian
1. Partisipasi
a. Latar Belakang
Salah satu alasan penerapan MBS adalah untuk membuat kebijakan/keputusan sekolah lebih dekat dengan stakeholders sehingga hasilnya benar-benar mencerminkan aspirasi stakeholders. Untuk itu, MBS mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah (stakeholders), baik warga sekolah seperti guru, kepala sekolah, siswa, dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya, maupun warga di luar sekolah seperti orang tua siswa, akademisi, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak lain yang mewakili masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah. Saat ini, Komite Sekolah merupakan wadah formal bagi stakeholders untuk berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan sekolah.
Peningkatan partisipasi dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasi/kontribusinya terhadap sekolah. Inilah pentingnya partisipasi bagi sekolah.
b. Arti Partisipasi
Partisipasi adalah proses di mana stakeholders (warga sekolah dan masyarakat) terlibat aktif baik secara individual maupun kolektif, secara langsung maupun tidak langsung, dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/ pengevaluasian pendidikan sekolah. Diharapkan, partisipasi dapat mendorong warga sekolah dan masyarakat sekitar untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pengevaluasian yang menyangkut kepentingan sekolah, baik secara individual maupun kolektif, secara langsung maupun tidak langsung.
Pergeseran lokus kebijakan dari pemerintah pusat dan dari dinas pendidikan ke sekolah diharapkan proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan lebih partisipatif dan benar-benar mengabdi kepada kepentingan publik dan bukan pada kepentingan elite birokrasi dan politik. Dengan partisipasi aktif diharapkan mampu menjadikan aspirasi stakeholders sebagai panglima karena dengan MBS diharapkan mampu mengalirkan kekuasaan dari pemerintah pusat dan dinas pendidikan ke tangan para pengelola sekolah, yang sebenarnya sangat strategis karena pada level inilah keputusan dapat memperbaiki mutu pendidikan.
c. Tujuan Partisipasi
Tujuan utama peningkatan partisipasi adalah untuk: (1) meningkatkan dedikasi/ kontribusi stakeholders terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik dalam bentuk jasa (pemikiran/intelektualitas, keterampilan), moral, finansial, dan material/barang; (2) memberdayakan kemampuan yang ada pada stakeholders bagi pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (3) meningkatkan peran stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik sebagai advisor, supporter, mediator, controller, resource linker, and education provider, dan (4) menjamin agar setiap keputusan dan kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi stakeholders dan menjadikan aspirasi stakeholders sebagai panglima bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
d. Upaya-Upaya Peningkatan Partisipasi
Untuk mencapai tujuan tersebut, upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam rangka meningkatkan partisipasi stakeholders adalah sebagai berikut.
(1) Membuat peraturan dan pedoman sekolah yang dapat menjamin hak stakeholders untuk menyampaikan pendapat dalam segala proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengevaluasian pendidikan di sekolah.
(2) Menyediakan sarana partisipasi atau saluran komunikasi agar stakeholders dapat mengutarakan pendapatnya atau dapat mengekspresikan keinginan dan aspirasinya melalui pertemuan umum, temu wicara, konsultasi, penyampaian pendapat secara tertulis, partisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan di sekolah.
(3) Melakukan advokasi, publikasi, komunikasi, dan transparansi kepada stakeholders.
(4) Melibatkan stakeholders secara proporsional dengan mempertimbangkan relevansi pelibatannya, batas-batas yurisdiksinya, kompetensinya, dan kompatibilitas tujuan yang akan dicapainya.
e. Indikator Keberhasilan Partisipasi
Keberhasilan peningkatan partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat diukur dengan beberapa indikator berikut:
(1) Kontribusi/dedikasi stakeholders meningkat dalam hal jasa (pemikiran, keterampilan), finansial, moral, dan material/barang.
(2) Meningkatnya kepercayaan stakeholders kepada sekolah, terutama menyangkut kewibawaan dan kebersihan.
(3) Meningkatnya tanggungjawab stakeholders terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
(4) Meningkatnya kualitas dan kuantitas masukan (kritik dan saran) untuk peningkatan mutu pendidikan.
(5) Meningkatnya kepedulian stakeholders terhadap setiap langkah yang dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan mutu.
(6) Keputusan-keputusan yang dibuat oleh sekolah benar-benar mengekspresikan aspirasi dan pendapat stakeholders dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Transparansi
a. Latar Belakang
Sekolah adalah organisasi pelayanan yang diberi mandat oleh publik untuk menyelenggarakan pendidikan sebaik-baiknya. Mengingat sekolah adalah organisasi pelayanan publik, maka sekolah harus transparan kepada publik mengenai proses dan hasil pendidikan yang dicapai. Transparansi dicapai melalui kemudahan dan kebebasan publik untuk memperoleh informasi dari sekolah. Bagi publik, transparansi bukan lagi merupakan kebutuhan tetapi hak yang harus diberikan oleh sekolah sebagai organisasi pelayanan pendidikan.
Hak publik atas informasi yang harus diberikan oleh sekolah antara lain: hak untuk mengetahui, hak untuk menghadiri pertemuan sekolah, hak untuk mendapatkan salinan informasi, hak untuk diinformasikan tanpa harus ada permintaan, dan hak untuk menyebarluaskan informasi. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan jaminan kepada publik terhadap akses informasi sekolah atau kebebasan memperoleh informasi sekolah. Kebebasan memperoleh informasi sekolah dapat dicapai jika dokumentasi informasi sekolah tersedia secara mutakhir, baik kualitas maupun kuantitas
Pengembangan transparansi sangat diperlukan untuk membangun keyakinan dan kepercayaan publik kepada sekolah. Dengan transparansi yang tinggi, publik tidak lagi curiga terhadap sekolah dan karenanya keyakinan dan kepercayaan publik terhadap sekolah juga tinggi. .
b. Arti Transparansi
Transparansi sekolah adalah keadaan di mana setiap orang yang terkait dengan kepentingan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Dalam konteks pendidikan, istilah transparansi sangatlah jelas yaitu kepolosan, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Ini berarti bahwa sekolah harus memberikan informasi yang benar kepada publik. Transparansi menjamin bahwa data sekolah yang dilaporkan mencerminkan realitas. Jika terdapat perubahan pada status data dalam laporan suatu sekolah, transparansi penuh menyaratkan bahwa perubahan itu harus diungkapkan secara sebenarnya dan dengan segera kepada semua pihak yang terkait (stakeholders).
c. Tujuan Transparansi
Pengembangan transparansi ditujukan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan publik kepada sekolah bahwa sekolah adalah organisasi pelayanan pendidikan yang bersih dan berwibawa. Bersih dalam arti tidak KKN dan berwibawa dalam arti profesional. Transparansi bertujuan untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara sekolah dan publik melalui penyediaan informasi yang memadai dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat.
d. Upaya-Upaya Peningkatan Transparansi
Transparansi sekolah perlu ditingkatkan agar publik memahami situasi sekolah dan dengan demikian mempermudah publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam kerangka meningkatkan transparansi sekolah kepada publik antara lain melalui pendayagunaan berbagai jalur komunikasi, baik secara langsung melalui temu wicara, maupun secara tidak langsung melalui jalur media tertulis (brosur, leaflet, newsletter, pengumuman melalui surat kabar) maupun media elektronik (radio dan televisi lokal).
Upaya lain yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam meningkatkan transparansi adalah menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi, bentuk informasi yang dapat diakses oleh publik ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, durasi waktu untuk mendapatkan informasi, dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik.
Sekolah perlu mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk mendapatkan informasi sekolah, fasilitas database, sarana informasi dan komunikasi, dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan informasi yang ada di sekolah maupun prosedur pengaduan.
e. Indikator Keberhasilan Transparansi
Keberhasilan transparansi sekolah ditunjukkan oleh beberapa indikator berikut: (a) meningkatnya keyakinan dan kepercayaan publik kepada sekolah bahwa sekolah adalah bersih dan wibawa, (2) meningkatnya partisipasi publik terhadap penyelenggaraan sekolah, (3) bertambahnya wawasan dan pengetahuan publik terhadap penyelenggaraan sekolah, dan (4) berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di sekolah.
3. Akuntabilitas
a. Latar Belakang
MBS memberi kewenangan yang lebih besar kepada penyelenggara sekolah yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggungjawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu, sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai konsekwensi dari mandat yang diberikan oleh publik/ masyarakat. Ini berarti, akuntabilitas publik akan menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Publik sebagai pemberi mandat dapat memberi penilaian terhadap penyelenggara sekolah apakah pelaksanaan mandat dilakukan secara memuaskan atau tidak. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas, publik mempunyai hak untuk memberikan masukan, hak diinformasikan, hak untuk komplain, dan hak untuk menilai kinerja sekolah.
b. Arti Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggjawaban. Pertanggung jawaban penyelenggara sekolah merupakan akumulasi dari keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pokok dan fungsi sekolah yang perlu disampaikan kepada publik/stakeholders. Akuntabilitas kinerja sekolah adalah perwujudan kewajiban sekolah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan rencana sekolah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik.
Akuntabilitas meliputi pertanggungjawaban penyelenggara sekolah yang diwujudkan melalui transparansi dengan cara menyebarluaskan informasi dalam hal: (a) pembuatan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, (b) anggaran pendapatan dan belanja sekolah, (c) pengelolaan sumberdaya pendidikan di sekolah, dan (d) keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan rencana sekolah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Menurut jenisnya, akuntabilitas dapat dikategorikan menjadi 4: (1) akuntabilitas kebijakan, yaitu akuntabilitas pilihan atas kebijakan yang akan dilaksanakan, (2) akuntabilitas kinerja (product/quality accountability), yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan pencapaian tujuan sekolah, (3) akuntabilitas proses, yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan proses, prosedur, aturan main, ketentuan, pedoman, dan sebagainya., dan (4) akuntabilitas keuangan (kejujuran) atau sering disebut (financial accountability), yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan pendapatan dan pengeluaran uang (cash in and cash out). Sering kali istilah cost accountability juga digunakan untuk kategori akuntabilitas ini.
c. Tujuan Akuntabilitas
Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah untuk menilai kinerja sekolah dan kepuasan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan, dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil evaluasi harus dipublikasikan dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi. Sekolah dikatakan memiliki akuntabilitas tinggi jika proses dan hasil kinerja sekolah dianggap benar dan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
d. Upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas
Agar sekolah memiliki akuntabilitas yang tinggi, maka perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut.
a) Sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban. Ini perlu diupayakan untuk menjaga kepastian tentang pentingnya akuntabilitas.
b) Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
c) Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
d) Menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
e) Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/stakeholders di akhir tahun.
f) Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan atau pengaduan publik.
g) Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
h) Memperbarui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
e. Indikator Keberhasilan Akuntabilitas
Keberhasilan akuntabilitas dapat diukur dengan beberapa indikator berikut, yaitu: (a) meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah, (b) tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, (c) berkurangnya kasus-kasus KKN di sekolah, dan (d) meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.
C. MONOTORING DAN EVALUASI MBS
Monitoring dan evaluasi merupakan bagian integral dari pengelolaan pendidikan, baik di tingkat mikro (sekolah), meso (dinas pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan provinsi), maupun makro (kementerian). Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan monitoring dan evaluasi, kita dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan pada tingkat sekolah, dinas pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan provinsi, dan departemen.
Tanpa pengukuran, tidak ada alasan untuk mengatakan apakah suatu sekolah mengalami kemajuan atau tidak. Monitoring dan evaluasi, pada umumnya, menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Karena itu, monitoring dan evaluasi yang bermanfaat adalah monitoring dan evaluasi yang menghasilkan informasi yang cepat, tepat, dan cukup untuk pengambilan keputusan.
Penerapan MBS juga memerlukan monitoring dan evaluasi secara intensif dan dilakukan secara terus-menerus. Dengan monitoring dan evaluasi, kita dapat menilai apakah MBS benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan. Jika MBS kurang berhasil, apanya yang salah? Konsepnya atau pelaksanaannya? Karena itu, dengan monitoring dan evaluasi, kita juga dapat memperbaiki konsep dan pelaksanaan MBS.
Istilah monitoring dan evaluasi memiliki makna sebagai berikut. Monitoring adalah suatu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan MBS. Jadi, fokus monitoring adalah pemantauan pada pelaksanaan MBS, bukan pada hasilnya. Tepatnya, fokus monitoring adalah pada komponen proses MBS, baik menyangkut proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, maupun pengelolaan proses belajar mengajar. Sedang evaluasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil MBS. Jadi, fokus evaluasi adalah pada hasil MBS. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, berarti MBS efektif. Sebaliknya jika hasil tidak sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, maka MBS dianggap tidak efektif (gagal). Oleh karena itu, sebaiknya setiap sekolah yang melaksanakan MBS diharapkan memiliki data-data tentang prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Hal ini penting untuk dilakukan agar sekolah dengan mudah untuk membandingkan prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Jika setelah MBS ada peningkatan prestasi yang signifikan dibanding sebelum MBS, maka hal ini dapat diduga bahwa MBS cukup berhasil.
Monitoring dan evaluasi MBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan (umpan balik) bagi perbaikan pelaksanaan MBS. Sedang hasil evaluasi dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap keseluruhan komponen MBS, baik pada konteks, input, proses, output, maupun outcome nya. Masukan-masukan dari hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan untuk pengambilan keputusan.
B. Uraian
MBS sebagai sistem, memiliki komponen-komponen yang saling terkait secara sistematis satu sama lain, yaitu konteks, input, proses, output, dan outcome.
Konteks adalah eksternalitas sekolah berupa demand and support (permintaan dan dukungan) yang berpengaruh pada input sekolah. Dalam istilah lain, konteks sama artinya dengan istilah kebutuhan. Dengan demikian, evaluasi konteks berarti evaluasi tentang kebutuhan. Alat yang tepat untuk melakukan evaluasi konteks adalah penilaian kebutuhan (needs assessment).
Input adalah segala “sesuatu” yang harus tersedia dan siap karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat-perangkat lunak dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Secara garis besar, input dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu harapan, sumberdaya, dan input manajemen. Harapan-harapan terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran. Sumberdaya dibagi menjadi dua yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan). Input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, regulasi (ketentuan-ketentuan, limitasi, prosedur kerja, dan sebagainya), dan pengendalian atau tindakan turun tangan. Untuk lebih rincinya, lihat uraian input pada BAB II. Esensi evaluasi pada input adalah untuk mendapatkan informasi tentang “ketersediaan dan kesiapan” input sebagai prasyarat untuk berlangsungnya proses.
Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam MBS sebagai sistem, proses terdiri dari: proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, proses evaluasi sekolah, dan proses akuntabilitas. Dengan demikian, fokus evaluasi pada proses adalah pemantauan (monitoring) implementasi MBS, sehingga dapat ditemukan informasi tentang konsistensi atau inkonsistensi antara rancangan/disain MBS semula dengan proses implementasi yang sebenarnya. Konsistensi antara rancangan dan proses pelaksanaan akan mendukung tercapainya sasaran, sedang inkonsistensi akan menjurus kepada kegagalan MBS. Dengan didapatkan informasi inkonsistensi tersebut, segera dapat dilakukan koreksi/pelurusan terhadap pelaksanaan.
Output adalah hasil nyata dari pelaksanaan MBS. Hasil nyata yang dimaksud dapat berupa prestasi akademik (academic achievement), misalnya, nilai NUN, dan peringkat lomba karya tulis, maupun prestasi non-akademik (non-academic achievement), misalnya, IMTAQ, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi olahraga, kesenian, dan kerajinan. Fokus evaluasi pada output adalah mengevaluasi sejauhmana sasaran (immediate objectives) yang diharapkan (kualitas, kuantitas, waktu) telah dicapai oleh MBS. Dengan kata lain, sejauhmana “hasil nyata sesaat” sesuai dengan “hasil/sasaran yang diharapkan”. Tentunya makin besar kesesuaiannya, makin besar pula kesuksesan MBS.
Outcome adalah hasil MBS jangka panjang, yang berbeda dengan output yang hanya mengukur hasil MBS sesaat/jangka pendek. Karena itu, fokus evaluasi outcome adalah pada dampak MBS jangka panjang, baik dampak individual (siswa), institusional (sekolah), dan sosial (masyarakat). Untuk melakukan evaluasi ini, pada umumnya digunakan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis).
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada perubahan konteks, input, proses, output, dan outcome pada waktu sebelum dan sesudah melaksanakan MBS. Besar kecilnya perubahan komponen-komponen tersebut (dari dan sesudah melaksanakan MBS) merupakan ukuran tingkat keberhasilan MBS. Dengan bahasa non-statistik, makin besar perubahan (peningkatan/pengembangan) komponen-komponen tersebut dari sebelum dan sesudah melaksanakan MBS, berarti makin besar pula keberhasilan MBS.
Selain memonitor dan mengevaluasi komponen-komponen konteks, input, proses, output, dan outcome sekolah, yang tidak kalah penting untuk dimonitor dan dievaluasi adalah pelaksanaan prinsip-prinsip MBS yang baik (tata pengelolaan yang baik, seperti disebut sebelumnya yaitu meliputi: partisipasi, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas, wawasan ke depan, penegakan hukum, keadilan, demokrasi, prediktif, kepekaan, profesionalisme, efektivitas dan efisiensi, dan kepastian jaminan hukum. Setiap tata pengelolaan harus dievaluasi apakah sebelum dan sesudah MBS ada perubahan tata pengelolaan sekolah.
Berikut adalah visualisasi monitoring dan evaluasi pada saat sebelum dan pada saat sesudah melaksanakan MBS (Lihat Gambar 4: Monitoring dan Evaluasi MBS).
Ada dua jenis monitoring dan evaluasi sekolah, yaitu internal dan eksternal. Yang dimaksud monitoring dan evaluasi internal adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh sekolah sendiri. Pada umumnya, pelaksana monitoring dan evaluasi internal adalah warga sekolah sendiri yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, guru bimbingan dan penyuluhan, dan warga sekolah lainnya. Tujuan utama monitoring dan evaluasi internal sekolah adalah untuk mengetahui tingkat kemajuan dirinya sendiri (sekolah) sehubungan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Sedang yang dimaksud monitoring dan evaluasi eksternal adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak eksternal sekolah (external institution), misalnya Dinas Pendidikan, Pengawas, dan Perguruan tinggi, atau gabungan dari ketiganya. Hasil monitoring dan evaluasi eksternal dapat digunakan untuk: rewards system terhadap individu sekolah, meningkatkan iklim kompetisi antar sekolah, kepentingan akuntabilitas publik, memperbaiki sistem yang ada secara keseluruhan, dan membantu sekolah dalam mengembangkan dirinya.
Untuk mengevaluasi keberhasilan MBS, sekolah-sekolah yang melaksanakan MBS harus membuat tonggak-tonggak kunci keberhasilan untuk kurun waktu tertentu. Tonggak-tonggak kunci keberhasilan MBS merupakan target-target hasil MBS yang akan dicapai dalam jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun). Target-target tersebut bersumber dari pemerataan pendidikan (kesamaan kesempatan antara siswa-siswa desa-kota, kaya-miskin, laki-perempuan, cacat-tdak cacat, dan sebagainya.), kualitas pendidikan (input, proses, output), efektivitas dan efisiensi pendidikan (angka kenaikan kelas, angka kelulusan, angka putus sekolah, dan sebagainya.), dan tata kelola sekolah yang baik (good governance) yang meliputi: partisipasi, transparansi, tanggungjawab, akuntabilitas, wawasan kedepan, penegakan hukum, keadilan, demokrasi, prediktif, kepekaan, profesionalisme, efektivitas dan efisiensi, dan kepastian jaminan hukum. Misalnya, contoh tonggak-tonggak kunci keberhasilan dapat diberikan sebagai berikut. Pada tahun 2009, rata-rata NUN sebuah SMP adalah 6,50. Pada tahun 2014, rata-rata NUN yang diharapkan dapat dicapai oleh SMP tersebut sebesar 7,00. Jika target ini dirinci setiap tahun, maka rata-rata NUN yang akan dicapai oleh sekolah adalah 6, 60 pada tahun 2010; 6,70 pada tahun 2011; 6,80 pada tahun 2012; dan 6,90 pada tahun 2013, dan 7,00 pada tahun 2014. NUN hanyalah salah satu tolok ukur kualitas sekolah dan masih banyak tolok ukur kualitas lainnya yang perlu dipertimbangkan, misalnya budi pekerti, prestasi olah raga, kesenian, olimpiade, dan karya ilmiah remaja di samping kualitas input (guru, fasilitas, dan sebagainya.) dan kualitas proses (proses belajar mengajar, kepemimpinan, dan sebagainya). Sebaiknya, tonggak-tonggak kunci keberhasilan dibuat tabuler yang terdiri dari program-program strategis dan tonggak-tonggak kunci keberhasilan dari setiap program strategis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Ditjen Mandikdasmen. Depdiknas (rujukan utama dari materi pelatihan ini).
Dornseif, A. 1996. Pocket Guide to School-Based Management. Alexandria:
Association for Supervision and Curriculum Development.
E.Mulyasa. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT.Remaja
Rosda.
Ibtisam Abu & Duhou. 2002. School-Based Management (Manajemen
Berbasis Sekolah) (terjemahan: Noryamin Aini, Suparto & Abas Al-
Jauhari). Jakarta: Logos.
Odden,A.1994. School-Based Management Organizing for High Performance. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Reynold, Larry. 1997. Successful Site-Based Management. Thousand
Oaks, California: Corwin Press, Inc.
Rutmini & Jiyono. 1999. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep dan
Kemungkinan Strategi Pelaksanaannya di Indonesia. Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan. Juni Tahun Ke-5. No.017. h.77-107.
Wohlstetter, P., Kirk, A.N.V., Robertson, P.J. & Mohrman (1997). Succesful
School-Based Management. Alexandria: Association for Supervision and
Curriculum Development.
Zuldan K.Prasetyo & Slamet. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah dalam Mengembangkan dan Mewujudkan Budaya Mutu dalam Pendidikan. Cakrawala pendidikan. Juni Th.XXII.No. h.179-206.